5.9.09

Pembaharuan dalam Islam

materi hari ini
Kata Tajdid berasal dari bahasa Arab yang memiliki padanan kata seperti Modernisasi, pembaharuan, reorientasi, reinterpretasi, pemurnian, reformasi, pencerahan, dan “kelahiran kembali


(Pengertian tajdid, Fungsi tajdid, Arti penting tajdid, Latar belakang timbulnya tajdid)

A. PENGERTIAN TAJDID (Corak Khusus Perbendaharaan Dalam Islam)
Kata Tajdid berasal dari bahasa Arab yang memiliki padanan kata seperti Modernisasi, pembaharuan, reorientasi, reinterpretasi, pemurnian, reformasi, pencerahan, dan “kelahiran kembali. Beberapa padanan kata tersebut mengarahkan kita pada satu pengertian “perubahan secara signifikan pada satu konsep, baik perubahan bersifat fundamental ataupun secara parsial”, atau sesuai arti dasar dari Tajdidi itu sendiri adalah : membuat sesuatu menjadi baru kembali
Namun yang jadi pertanyaan besar: ke arah mana pembaruan itu dilakukan, baik dari sisi “nazhariyah” (teoretis), “amaliyah” (praksis), maupun “sulukiyah” (moral)? Mau dibawa ke mana Islam ini; corak liberal, moderat atau Fundamentaliskah? Konservatif atau progresif?
Beberapa definisi berikut mungkin dapat memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas:
KH. Ahmad Sidiq : memulihkan sesuatu kepada keaadaan semula (ketika masih baru, sebelum terkena debu atau karat). Bukan berarti mengganti sesuatu yang lain dengan yang baru.
Yusuf Qardhawi : tajdid diartikan pembaruan, modernisasi, yakni upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana masa Nabi. Bukan berarti hukum agama persisi seperti terjadi pada waktu itu. melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan dengan maksud syar’I dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat atau pikiran-pikiran asing.
Sementara itu, dalam epistemology Indonesia, disebutkan bahwa Tajdid adalah Pembaruan yang dimaknai sebagai pembaharuan dalam pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan yang baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan modern. (age of reason atau enlightement) 1650 – 1800 m.
Berdasarkan hal tersebut maka Pembaruan (tajdid) mengandung 3 unsur :
1. Liberation, proses berfikir itu lebih bersifat pembebasan daripada ta’sshub mazhab, bid’ah dan khurafat.
2. Reformation, kembali kepada Alquran dan Sunnah .
3. Modernization, menyesuaikan dengan sesuatu yang suasana baru yang ditimbulkan oleh Ilmu Pengetahuan modern.

Jika merujuk pada referensi-referensi tentang sejarah maka akan ditemukan banyak sekali peristilahan yang digunakan para penulis yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi pembaharuan atau tajdid, umpamanya tajdid, ishlah, reformasi, ‘ashriyah, modernisasi, revivalisasi, resurgensi (resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan fundamentalis. Peristilahan seperti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik bela-ka, akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri. Agar tidak terjadi kerancuan pemahaman pada istilah-istilah tersebut, maka di bawah ini akan dijelaskan secara garis besarnya:

1. Tajdid, Ishlah, dan Reformasi
Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan reformasi; karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan gerakan reformasi. Tajdid menurut bahasa al-i’adah wa al-ihya’ , mengembalikan dan menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-Din menurut istilah ialah menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh al-Quran dan al-Sunnah . Ulama salaf memberikan ta’rif tajdid sebagai berikut : Menerangkan/membersih-kan Sunnah dari bid’ah memperbanyak ilmu dan memu-liakannya, membenci bid’ah dan menghilangkannya” . Selanjutnya tajdid dikatakan sebagai penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap setiap problem yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala yang bid’ah. Tajdid tersebut di atas dapat pula diartikan sebagaimana dikatakan oleh ulama salaf menghidupkan kembali ajaran salaf al-shaleh, meme-lihara nash-nash, dan meletakkan kaidah-kaidah yang disusun untuknya serta meletakkan metode yang benar untuk memahami nash tersebut dalam mengambil mak-na yang benar yang sudah diberikan oleh ulama.
Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid tersebut mendorong umat Islam agar kembali kepada al-Quran dan sunnah serta mengembangkan ijtihad. Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang selama ini suaranya masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang di-katakan sebagai ishlah atau reformasi dalam Islam. Refor-masi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul akibat modernisasi dan puritan muncul sebagai reaksi atas reformasi. Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi sebagai akibat adanya penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme modern (reformation as a religious and theological and the cauce of modern secularism
2. ‘Ashriyah dan Modernisasi
Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab) diberikan oleh kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa membedakan isi gerakan itu sendiri. Moder-nisasi, dalam masyarakat Barat, mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagai-nya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditim-bulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam kontak dengan Barat, maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demok-rasi, dan lain sebagainya.
Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern karena dalam sejarahnya agama Katholik dan Protestan dahulu diajak menyesuaikan diri dengan ilmu pengeta-huan dan falsafat modern. Sayangnya, modernisaai di Barat ini akhirnya membawa kepada sekularisasi. Jika seandainya demikian ternyata perkataan modern tidak sedikit dampaknya dan bahayanya dalam pemahaman agama, seandainya tidak ada filter-filter tertentu untuk menyaringnya sebagaimana terjadi di dunia Barat tadi. Itulah sebabnya barangkali Harun Nasution tidak begitu sreg menggunakan kata modern sebagai gantinya dipilih kata pembaharuan.
3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi
Kesemua peristilahan di atas mengandung arti te-gak kembali atau bangkit kembali. Peristilahan revivali-sasi, pada dasarnya, banyak sekali digunakan oleh para penulis. Fazlurrahman, misalnya, menggunakan istilah ini, bahkan ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis pra-modernis dan revivalis neo modernis.
Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan kata resurgence. Chandra Muzaffar yang mengemukakan istilah ini dalam tulisannya Resurgence A. Global Vew menyatakan bahwa adanya perbedaan antara istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence, adalah tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur :
1. Kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya;
2. Ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya;
3. Bangkit kem¬bali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang berpengalam-an lain.
Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kem-bali ke masa lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang sudah usang. Renaisans, jika ha-nya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa jahi-liyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang berarti meng-hidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini ter-paksa digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid.
Karena itu, barangkali mengapa banyak para penu-lis menggunakan Renaisans dalam menerangkan tajdid atau Pembaharuan dalam Islam. Fazlurrahman, misalnya dalam bukunya Islam : Challenges and Opportunities, me-nulis tentang Renaisans Islam : Neo Modernis. Istilah ini-pun digunakan pula oleh editor buku A History of Islamic Phllisophy, M.M. Sharif, tatkala rnenerang¬kan tokoh-to-koh pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab, Muhammad Abduh dan lainnya di ba-wah judul Modern Renaissans. Sementara itu reassertion berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung tan-tangan terhadap masalah sosial yang ada.
Demikianlah istilah tajdid, pembaharuan, yaitu dikemukakan oleh para ahli, mereka bukan hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah yang digunakan, akan tetapi dalam makna dan isi pembaharuan itu sen-diri. Itulah sebabnya orang sering mengatakan bahwa istilah Pembahruan dalam Islam masih merupakan kon-troversi yang mengandung kebenaran. Dan itu pula se-babnya mengapa Harun Nasution tidak banyak meng-gunakan peristilahan yang banyak itu, kecuali menggu-nakan istilah pembaharuan, modern dan tajdid sewaktu-waktu. Karena, yang penting adalah isi dan tujuan dari pembaharuan itu sendiri kembali kepada ajaran-ajaran dasar dan memelihara ijtihad.

B. FUNGSI TAJDID
Fungsi tajdid dapat ditelusuri melalui dua aspek dari konsep “al-Muhaafazhatu ala al-Qadiim al-Shalih wa al-Akhdz di al-Jadid al-Ashlah, yaitu :
1. Fungsi konservasi : al muhafazhatu bil qadimis shalih) melestarikan dan menjaga nilai dan ajaran yang benar, mutlak dan universal yang bersumber pada wahyu dan dali qath’i.
2. Fungsi Dinamisasi: al-Akhzu bil Jadidil Ashlah) mengembangkan dengan daya yang selektif terhadap nilai-nilai dan kemajuan baru yang dapat menyempurnakan nilai-nilai dan ajaran yang sifatnya nisbi dan ijtihad yang bersumber pada dalil-dalil zhanni.

Kemudian menurut KH. Ali Yafi, hal di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1. al- I’aadah ; pemulihan kembali ajaran Islam dari pencemaran limbah
2. al- Ibanah; pembedaan dan pemisahan ajaran islam dari ajaran yang menyimpang
3. al-Ihya’; pendinamisan hidup dan semangat Islam dalam menghadapi kemajuan zaman.
Tajdid juga merupakan sistem koreksi terhadap penyusupan ajaran dan nilai yang mengancam kelestarian Islam, seperti intervensi pemikiran (al-Ghazawul Fikry) dari luar Islam, dan deviasi (penyimpangan) dan dalam Islam sendiri.

C. FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA PEMBAHARUAN
Setidak-tidaknya ada dua sebab yang mendorong terjadinya pembaharuan dalam Islam ;
Yang pertama adalah dorongan dari ajaran Islam itu sendiri, dan yang kedua sebagai akibat adanya asimilasi dengan kebudayaan baru, baik yang bersifat lokal, regional mau-pun internasional, khususnya dengan Barat modern.
Mengenai sebab pertama, sebagaimana , disinggung pada pada urain terdahulu, banyak ayat-ayat al-Quran dan hadis yang menerangkan tentang penelitian ilmiah dan perlunya memelihara ajaran Islam sesuai dengan al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Salah satu Hadis yang menerangkan terhadap perlunya tajdid adalah sabda na-bi yang berbunyi :” Sesungguhnya Allah akan membang-kitkan untuk umat ini, setiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharui agamanya».
Hadis ini menerangkan secara eksplissit, bahwa adanya mujaddid, reformer, juru ishlah, dan mujahid akan selalu muncul pada setiap awal atau penghujung seratus tahun. Ini artinya pada setiap generasi akan ada seorang mujaddid. Berkaitan dengan sebab pertama ini karena umat Islam setiap generasi dan tempat tertentu akan menghadapi persoalan yang berbeda, karena umat selalu berkembang, tantangan zaman juga semakin komplek.
Di kalangan umat Islam, tatkala mujaddid pertama muncul yaitu pada masa Ibn Taimiyah, penyelewengan dalam agama sangat banyak, sehingga mengakibatkan akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak rusak. Muncul ketika itu yang disebut syirk, khurafat, dan bid’ah, taqlid meraja lela dan ijtihad dianggap haram. Apa yang dia-lami oleh Ibn Taimiyah, itu pulalah yang pernah dialami oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Pada masa mereka berdua, politik dunia Islam pun sedang hancur akibat serbuan tentara Mongol di satu pihak dan penetrasi Ba-rat ke dunia Islam di pihak lainnya. Pembaharuan yang muncul setelah Muhammad bin Abd al-Wahhab sebagai akibat penetrasi Barat modern ke dunia Islam.
Tekanan dari masing-masing pembaharuan berbe-da, dari satu generasi kepada genarasi yang lain, dan ju-ga dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Namun para pembaharu itu mempunyai tujuan yang sama, yaitu me-murnikan ajaran Islam dan atau nembangkitkan nama baik Islam. Dalam pada itu yang diperbaharui oleh para pembaharu itu hanyalah ajaran yang tidak bersifat mut-lak yaitu penafsiran dan interpretasi dari ajaran yang bersifat muntlak itu. Dengan kata lain pembaharuan ter-hadap yang bersifat mutlak ini tidak dapat diadakan. Di samping itu para pembaharu harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Pikiran yang jernih,
2) Wawasan yang luas,
3) Sikap yang konsisten,
4) Kemampuan menganalisa hal-hal mana yang melampaui batas dan mana yang akan meng-antarkan kepada tujuan,
5) mampu memelihara keseimbangan,
6) Memiliki kekuatan berpikir,
7) Berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman,
8) Memiliki kemampuan memimpin,
9) Memiliki kemampuan berijtihad,
10) Memilki kemampuan untuk membagun dan membina masyarakat,
11) Dapat membedakan ajaran islam dan ajaran jahiliayah ,
12) Dan seorang muslim yang rnemiliki keimanam, pandangan, pemahaman, dan perasaan yang benar tentang Islam.

Sementara itu, jika gerakan pembaharuan Islam diistilahkan dengan Revivalisme pra-modernis seperti Ibn Taimyah Muhammad bin Abd al-Wahhab, Gerakan Sanusiyah, dan Fulaniyah, maka gerakan ini timbul karena:
1) Keprihatinan yang mendalam terhadap kemerosotan moral dan sosial umat;
2) Sebagai himbauan untuk kembali ke islam orisi-nal , meninggalkan khurafat dan tahayul, me-ninggalkan taqlid dan mendorong ijtihad;
3) Menghimbau untuk membuang beban yang menghancurkan, berupa pandangan tentang taqdir sebagai akibat teolagi asyariyah,
4) Melaksanakan perubahan , revivalis, dengan kekuatan bersenjata jika diperlukan.
Adapun sebab yang mendorong bangkitnya semangat pembaharuan pada tingkat ini antara lain datang-nya dari Islam sendiri;
1) Yaitu merupakan kritik terhadap sufisme yang menjauhi tugas-tugas dalam pergaulan sosial dan dunia kankrit;
2) Mutlak perlunya rekonstruksi sosio-moral dan sosio-etik masyarakat islam agar sesuai atau paling tidak mendekati islam ideal;
3) Referensi gerakan pembaharuan yang utama adalah al-quran dan al-sunnah serta menekan-kan semangat ijtihad , yaitu dengan mengguna-kan akal pikiran untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat islam.
4) Karena itu revivalis pra-modernis, walaupun pernah dituduh sebagai anti intelektualisme oleh orientalis, sebenarnya mereka adalah pembebas besar khususnya dalam penekanan Ijtihad.

Setelah itu pada pertengahan abad ke 19 muncul kelompok pembaharuan yang oleh Fazlurrahman dise-but modernis klasik. Yang dianggap termasuk kelompok ini antara lain Sayyid Ahmad Khan, Jamaludin al-Afgha-ni dan Abduh. Mereka mewarisi tradisi Muslim masa pertengahan berupa filsafat Rasional dari Alfarabi , Ibn Sina, dan lainnya, dengan menumbuhkan semangat ijtihad dan penolakan taqlid. Yang dianggap baru dari pembaharuan ini ialah perluasan ijtihad. Pembaharuan ini berkembang meliputi pemahaman akal budi dan hu-bungannya den iman, pembaharuan sosial, pendidikan, status uanita, pemharuan politik, dan lain sebagainya
Cara penafsiran kaum modernis klasik didasarkan pada al-Quran dan kerangka dasar Sunnah historis bu-kan teknis. Di antara mereka ada yang menolak Hadis secara hati-hati seperti Muhammad Abduh, dan ada pula yang menolak Hadis secara terang-terangan, menafsir-kan Islam secara Liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan.
Setelah para modernis klasik ini, muncullah apa yang dinamakan Rahman sebagai neo-revivalisme yang gerak-annya terartikulasikan dalam bentuk gerakan-gerakan politik. Ia berbeda, baik dengan kaum revivalis pra-modernis maupun dengan kaum modernis klasik. Reaksi mereka terhadap modernisme cukup tajam bahkan tidak dapat dibedakan dengan pra-modernis. Mereka menuduh bahwa kaum modernis klasik itu identik dengan pembaratan (westernize).

D. TOKOH-TOKOH PEMBAHARU
Tidak mudah untuk menyebutkan siapa saja pem-baharu itu secara definitif. Hal ini disebabkan karena berbeda sudut pandang cara penilaian disamping juga mereka yang dianggap sebagai pembaharu itu tidak pernah menyebut dirinya sebagai pembaharu secara eksplisit. Di sarnping itu adakalanya seseorang yang dianggap se¬bagai pembaharu oleh yang lainnya, semen-tara penilai yang lain menyebutnya sebagai mulhid, kufr, murtad, dan gelaran-gelaran yang lainnya.
Namun demikian terlepas dari perbedaan-perbeda-an penilaian tersebut di atas, berdasarkan literatur-lite-ratur yang ditemukan sekedar untuk memberikan con-toh , bahwa mereka yang dianggap sebagai pembaharu itu antara lain adalah : Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abd al-Wahhab, Syekh Waliyullah al-Dahlawi, Sanusi, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Sayyid Ahmad Khan, al-Syaukani, Muhammad Abduh, Al-Afghani, Muhammad Rasyid Rido, dll. Di Indonesia pada masa perjuangan, kita mengenal Cokro Aminoto, H. Ahmad Dahlan, A. Hassan. Ahmad Syurkati, Hasyim Asy’ari, dll.
Malah menurut penilaian Abul A’la Maududi, yang dianggap Pembaharu adalah : Umar bin Abd al-Aziz, imam mazhab yang erapat, Ibn Taimiyah, Syekh’ Ahmad Sirhindi, Imam Waliyullah al-Dahlawi, Sayid Ahmad al-Barbalaeni, dan Syekh Ismail.
Alasan mereka dianggap pembaharu karena jasa-jasa mereka dalam menggugah kebangkitan umat, baik secara intelektual, moral, dan lain sebagainya. Termasuk pula tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Ali, al-Tahtawi, Qasim Amin, Mustafa Kamil, Ali Abdul Raziq, Toha Husen, Hasan al-Bana, Jamal Abd al-Naser.

E. RUANG LINGKUP PEMBAHARUAN
Secara inplisit ruang lingkup pembaharuan, pada dasarnya sudah disinggung pada halaman-halarnan se-belumnya, namun kiranya akan lebih baik jika diterang-kan secara eksplisit.
1. Pra Modernis
Kelompok pembaharu pra modernis dan yang se-ide dengannya lebih menekankan pada aspek pemurnian ajaran Islam dalam bidang akidah, syariah, dan akhlaq dari subversi ajaran yang bukan Islam dan tidak dapat di-Islamkan. Meskipun demikian mereka tidak melupakan aspek politik dan sosial ekonomi.
2. Modernis Klasik
Kelompok modernis klasik sudah lebih jauh me-langkah dari apa yang diperjuangkan oleh kekom-pok pra-modernis. Mereka bukan hanya sekedar mere-kontruksi bidang teologi, akidah, dan ibadah, akan teta-pi sudah sampai pada tahap membicarakan mana yang disebut ajaran dasar dan pokok dan mana pula yang tidak dasar atau hanya furu’. Mereka melakukan reaktuali-sasi penafsiran dan pemahaman Kitab suci dan juga melakukan kritik tentang keotentikan suatu hadis secara tajam. Di antara mereka ada yang bersikap hati-hati terhadap penerimaan hadis sebagai hujjah, seperti Muhammad Abduh misalnya, dan ada yang meno-lak sama sekali hadis untuk dijadikan hujjah. Dari kalangan mereka muncullah yang disebut golongan Quraniyah, seperti Sayyid Ahmad Khan. Kelompok modernis ini berbicara banyak tentang masalah eko-nomi, kenegaraan, penafsiran kontekstual dan mengam-bil metode modern dalam kalian-kajiannya.
3. Pasca Modernis
Pasca modernis dapat pula kita katakan sebagai neo revivalisme yang menekankan pembaharuan pada bidang politik dan pendidikan. Mereka, para pembaha-ru ini ingin agar adanya identitas khusus yang Islami; mereka berbeda dengan kaum modern klasik dan pra modernis.
Demikianlah pembaharuan dalam Islam, de-ngan berbagai variasinya dapat membangkitkan umat Islam dari kevacuman Intelektual dan kerusak-an akidah. Pembaharuan yang dimulai di dunia Arab menghembuskan angin segar ke seantero du-nia Islam, sehingga kaum muslimin menemukan kembali identitas dirinya dan mampu pula membebaskan dirinya dari penjajahan dan kolonialisme Barat.

1 komentar: